Assalamu'alaikum Sobat DUITO,
Pada postingan kali ini saya menampilkan artikel buatan Iranisa dari anggota DUITO. Artikel ini berjudul "Tetesan air mata seorang ibu" . Yuk kita lihat artikelnya :)
Saya
ingat masa-masa indah bersama ibu. Waktu kecil, saya dekat dengan ibu. Tentu
saja kita semua memiliki kedekatan dengan ibu, kecuali mereka yang diasuh oleh
kakek/nenek atau baby sitter. Kedekatan itu sejak awal dirasakan saat
saya menikmati ASI. Dari air susu ibu itulah saya bertumbuh dan berkembang
hingga saat ini. Kata para ahli, anak yang kekurangan ASI memiliki pertumbuhan
kurang sempurna dibanding anak yang asupan ASI-nya banyak.
Kedekatan
dengan ibu amat terasa sebelum mengenyam pendidikan dasar. Ketika kakak dan
bapak ke sekolah, saya hanya ditemani ibu. Ibu selalu setia menemani saya.
Kadang-kadang saya mengganggu pekerjaannya, namun tak pernah saya melihat dan
merasakan kebencian ibu kepada saya. Ibu memang mencintai anak-anaknya termasuk
saya. Ketika pulang sekolah saya bermain dengan kakak saya. Kadang-kadang kakak
memarahi saya, dan saat itulah saya berlindung kepada ibu. Begitu juga ketika
bapak marah, ibu selalu menjadi tempat perlindungan.
Apakah
ibu pernah marah? Tentu saja. Tetapi marah bukan karena benci, tetapi karena
cinta. Cinta ibu untuk anaknya. Saya pernah dimarahi gara-gara tidak
mengerjakan tugas yang dipercayakan kepada saya. Hal-hal sederhana, sesuai kemampuan
saya waktu itu. Mencuci piring, memasak, atau memberi makan kepada peliharaan
kami. Dari marah ini, saya sadar, betapa ibu mencintai saya.
Ibu
juga yang menyemangati saya dalam pendidikan. Sebelum sekolah, saya belajar
bersama ibu, setiap malam. Kami membuka buku gambar, lalu ibu menjelaskan
tulisan yang ada di gambar itu. Di tempat belajar itu, ada poster besar berisi
huruf abjad berukuran besar dan angka-angka dari 1-100. Ada juga perkalian,
pembagian, penjumlahan, dan pengurangan. Poster itulah sarana pembelajaran
kami. Sesekali ketika saya bosan, ibu membuka buku gambar, atau bercerita.
Tujuannya sederhana, untuk menyemangati saya. Kadang-kadang saya tertidur
karena cerita yang terlalu lama. Kebiasaan belajar bersama ibu, berkembang
terus hingga saya selesai SD. Pekerjaan rumah selalu dikerjakan bersama.
Sesekali dengan bapak dan kakak. Namun, seringkali bersama ibu. Ibu juga yang
menguatkan saya untuk belajar menyelesaikan sekolah dasar.
Kedekatan
ini begitu kuat sampai-sampai ibu merasa sepi ketika, saya tinggal jauh
darinya. Ibu meneteskan air mata ketika saya dan bapak pergi ke kota kecamatan
untuk melanjutkan pendidikan menengah, SMP. Saya memandangnya sebentar sebelum
mobil kami berjalan. Ibu menangis sambil memeluk adik saya dan melambaikan
tangan, merelakan saya pergi. Saya tahu, ia dengan berat hati melepas kepergian
saya. Namun, bagaimana pun saya mesti bersekolah. Air mata itu menetes lagi
ketika saya melanjutkan pendidikan ke kota kabupaten yang letaknya semakin jauh
dari rumah. Ibu hanya berpesan, “Nak, belajarlah dengan rajin dan berbuat
baiklah dengan sesama.” Pesan itu begitu menggema hingga saya ingat sampai
sekarang.
Selama
pendidikan menengah, saya jarang pulang ke rumah. Hanya 2 kali setahun, pada
saat liburan panjang. Ibu tidak marah. Saya selalu mengirim surat minimal
sekali dalam dua bulan. Komunikasi kami waktu itu hanya melalui surat. Ibu
senang membaca surat saya. Tiap kali teman sekolah saya berkunjung ke rumah,
ibu tersenyum sebelum mempersilakan teman untuk duduk. Ibu tahu, pasti ada
surat dari saya. Kegembiraan ibu lebih besar ketika saya kembali saat liburan.
Saat itu biasanya, ibu berlama-lama bercerita dengan saya. Kebiasaan ibu ini
berlaku untuk semua kami, anak-anaknya. Kami berasal dari desa dan harus
melanjutkan pendidikan menengah ke kota.
Waktu
liburan adalah kesempatan emas untuk mengobati rasa rindu ibu. Saat hendak
kembali ke sekolah, selesai liburan, air mata ibu jatuh lagi. Ini pertanda dia
mencintai anak-anaknya. Dengan sabar, dia menyiapkan bekal secukupnya berupa
makanan ringan, dan menyelipkan uang saku secukupnya. Ibu lalu berpesan, “Nak
apa saja yang kalian minta-asal itu demi pendidikan-kami akan memenuhinya.
Kalian harus sekolah dengan baik. Jangan khawatir dengan hidup kami di rumah.
Kami mempunyai banyak makanan untuk kebutuhan sehari-hari.” Pesan ini
menguatkan saya untuk terus belajar hingga akhir masa SMA.
Ibu
merasa berat sekali ketika saya harus melanjutkan pendidikan ke tempat yang
lebih jauh lagi. Namun, ia tetap mendukung. “Asal itu kemauan kamu, silakan
pergi, kami akan mendukungmu,” kata ibu waktu itu. Saya mengarungi lautan untuk
pertama kalinya. Saya dan ibu tinggal di pulau yang berbeda. Lagi-lagi air mata
ibu menetes lagi. Saya juga meneteskan air mata. Saya tak tahan melihat air
mata ibu kesekian kalinya. Kami berpelukan sebelum saya meninggalkan rumah.
Seminggu kemudian, ibu menelepon saya, menanyakan keadaan saya di tempat yang
baru. Saya bahagia dan ibu senang mendengar cerita saya. Dia sempat tertawa
karena saya bercerita membuat lelucon layaknya di rumah . Sebelum menutup
pembicaraan ibu menangis lagi, sambil menyerahkan gagang telepon kepada bapak.
Ibu
merupakan sosok yang besar bagi saya. Apa yang dibuatnya murni untuk kebaikan
kami anak-anaknya. Saat kami sakit, ibu yang huru-hara mencari bantuan ke
tetangga. Saya ingat ketika saya sakit, ibu pergi ke rumah bidan pagi-pagi
buta. Untung saja adik saya yang paling kecil tidak menangis mencarinya. Adik
masih terlelap ketika ibu berangkat. Hebat! Perjuangan ibu sungguh luar biasa.
Terlalu indah mengenang kebersamaan bersama ibu. Sekian tahun kami hidup
berjauhan. Namun, kami sering berbagi cerita. Saat yang dinanti adalah masa
liburan. Terima kasih ibu, kasihmu selalu kukenang, cintamu begitu besar, dan
jasamu luar biasa. Tetes air matamu menguatkan saya dalam hal apa pun termasuk
dalam menghadapi tantangan. Terima kasih ibu….
Artikel
ini saya buat agar semua orang tau tetesan air mata ibu yang membuat hidup kita
menjadi ancur dan air mata ibu juga yang membuat kita merasakann kepedihan
didunia semoga dengan cerita ini kita semua sadar